Selasa, Juni 23, 2009

Mengapa Entrepreneur Perlu Makan Pisang?

Judul : Mengapa Entrepreneur Perlu Makan Pisang?
Subjudul : 101 Ide Brilian Mengembangkan Bisnis di Masa Krisis
Penulis : Simon Tupman
No. ISBN : 978-979-687-584-9
Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal : xii +166 halaman
Terbit : 2009

Apa yang dapat dilakukan pada masa krisis ekonomi seperti sekarang? Sebagai karyawan, dengan gaji pas-pasan, apa yang dapat Anda lakukan? Mau berbisnis, bisnis apa yang dapat dicoba? Apakah ada cara bagi orang-orang memperbaiki kinerja bisnis dan pekerjaan mereka atau mempertahankan kinerja yang sudah ada?

Buku ini membidik peluang itu. Ditulis dengan gaya bahasa yang segar, lugas, padat, dan terfokus, buku ini cocok dibaca oleh siapa saja—dari yang tidak begitu paham bisnis sampai mereka yang sudah lama berbisnis tetapi sering mentok karena satu dan lain hal.

Buku ini dapat dibaca oleh mereka yang tidak paham dengan bisnis—bahkan sekadar ingin memompa kinerjanya di kantor atau dalam berelasi dengan orang lain—karena banyak berisi ide-ide yang terkait dengan pekerjaan, baik dalam bisnis maupun di dalam kantor, terutama dalam menjalin relasi dan menata organisasi atau tempat kerja secara lebih efektif dan efisien.

Sebaliknya, buku ini pun sangat tepat dibaca oleh mereka yang sudah terjun di dalam bisnis, karena ide-ide di dalam buku ini benar-benar sangat membantu dan memberikan solusi jitu bagi persoalan atau kesulitan yang mereka hadapi dalam menjalankan roda bisnis mereka. Ide-ide di dalam buku ini bukan hanya segar, tetapi juga memberikan solusi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Para pebisnis (entrepreneur) pasti menemukan ide-ide tersebut sebagai praktis dan cerdik—dan kadang-kadang mengejutkan. Ide-ide tersebut dibuat poin per poin, sehingga para pembaca dapat menikmati suatu trik atau ide tanpa perlu membaca trik atau ide lainnya.

Walaupun ide yang ditawarkan sangat bervariatif dan mencakup berbagai topik, namun ada 4 tema besar yang memayungi ide-ide itu: bagaimana menjalin relasi dengan pelanggan yang sudah ada, menjalin relasi dengan calon pelanggan, menjalin relasi dengan orang lain dalam lingkup organisasi/perusahaan, dan bagaimana mengelola kehidupan—entah organisasi/perusahaan maupun pribadi—secara baik. ***

Rabu, Maret 11, 2009

The Winner’s Attitudes



Spesifikasi Buku
Judul : The Winner’s Attitudes
Subjudul : 21 Prinsip Sederhana Membangun Semangat dan Keberhasilan di Dunia Kerja
Penulis : Libertus S. Pane
No. ISBN : 978-979-687-535-1
Ukuran : 14,5 x 21 cm
Tebal : xxii + 196 halaman


Sistematika Buku
Sekapur Sirih
Pengantar

Bagian Satu: Sikap Pemenang
Bab 1: Dahulukan yang Utama
Bab 2: Siapa Gurumu?
Bab 3: Push! Doronglah dari dalam
Bab 4: Hakikat Uang
Bab 5: Hakikat Waktu
Bab 6: Aneka Tipe Pekerja

Bagian Dua: Sikap Berkomunikasi
Bab 7: Pisau Bermata Dua
Bab 8: Komunikasi di Tempat Kerja
Bab 9: Mendengar dan Merasakan

Bagian Tiga: Sikap Pembelajar
Bab 10: Sarjana itu Bukan Gelar
Bab 11: Tidak Kenal, Tidak Sayang
Bab 12: Singa di Antara Domba
Bab 13: Sekilo Besi Tua

Bagian Empat: Menemukan Keseimbangan
Bab 14: Keajaiban Angka 1.000
Bab 15: Workaholic dan Mati Lelah
Bab 16: Life is Beautiful

Bagian Lima: Jendela Baru
Bab 17: Menabur di Tanah Gersang
Bab 18: Menggali Sumur Kedua
Bab 19: Seni Membaca Peluang

Bagian Enam: Penutup
Bab 20: Akhiri dengan Manis
Bab 21: Change! Berubah dengan Bertindak

Rujukan Bacaan yang Disarankan
Profil Penulis



Di kalangan pekerja, topik mengenai kenaikan pangkat, gaji, atau pengertian karier sempit lainnya merupakan topik yang menarik didiskusikan. Siapa yang tidak ingin memperoleh kemajuan dalam pekerjaannya? Pekerjaan yang sesuai dengan minat, dapat memberikan penghasilan yang tinggi, serta kedudukan yang baik, adalah impian wajar setiap pekerja.

Namun dalam keyakinan penulis, karier dan imbalan materi hanya satu sisi sempit dari ruang persoalan bekerja. Dalam pekerjaan juga diperlukan dimensi lainnya yang justru paling penting namun sering dilupakan, yaitu bagaimana sikap bekerja kita. Unsur ini sangat penting karena sikap (positif) merupakan sumber kebahagiaan sejati. Uang dan jabatan sangat mungkin memberikan kebahagiaan. Namun saya yakin, sikaplah yang paling menentukan.

Dalam kaitan itulah, penulis mengajukan buku ini yang berisi berbagai prinsip yang mengajarkan bagaimana seorang karyawan dapat menjadi pemenang di tempat kerja dan di tempat usaha mereka masing-masing. Buku ini memang disengaja oleh penulisnya untuk dibaca oleh para karyawan atau para pekerja muda, baik di perkantoran maupun di usaha-usaha lain. Seperti katanya:


saya secara khusus mendedikasikan buku ini kepada karyawan pada level menengah
ke bawah. Golongan ini merupakan pengisi bagian terbesar piramida angkatan
kerja. Sebagai lapis terbesar, mereka umumnya sedang berada dalam taraf
berpengharapan (ekspektasi) tinggi untuk berkembang lebih dari keadaan saat ini.
Mereka juga sekaligus paling sering diliputi rasa ragu, tidak percaya diri, dan
khawatir akan kemampuan dan masa depannya.

Karyawan pada umumnya membutuhkan suatu sikap yang positif dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, terutama di kantor. Sikap atau motivasi itu jarang mereka dapatkan di sekolah atau perguruan tinggi. Sikap atau motivasi itu biasanya mereka dapatkan dari seminar atau lokakarya.

Namun, berapa banyak karyawan yang memiliki kesempatan untuk mengikuti seminar atau lokakarya semacam itu? Buku ini mengisi kekosongan itu. Ditulis langsung dalam bahasa Indonesia oleh seorang yang pernah menjadi karyawan di berbagai tempat – dan setelah sukses dalam tugasnya sebagai karyawan ia membuka usaha sendiri – buku ini mengajarkan sikap dan motivasi yang cerdas dan bermakna bagi para karyawan muda yang ingin maju dan menjadi pemenang di tempat mereka bekerja atau tempat usaha.

Buku ini terdiri dari 5 (lima) bagian. Bagian Pertama membahas masalah ”sikap pemenang”. Sikap merupakan nilai sederhana namun berdampak luar biasa. Sesuai dengan maknanya, sikap merupakan sinyal penuntun cara dan arah hidup kita. Lagipula, dalam berbagai ajaran agama, sikap menjadi topik ajaran yang sangat penting dan mendalam. Sikap seperti pintu gerbang yang akan membawa kita ke dalam berbagai kemungkinan positif. Sikap ini, antara lain, terkait dengan cara pandang terhadap pekerjaan, uang, waktu, hubungan vertikal (dengan Tuhan), maupun horizontal (dengan sesama).

Dalam Bagian Kedua, penulis mengetengahkan sikap berkomunikasi. Masalah komunikasi merupakan hal yang terlihat sederhana dan kurang diperhatikan, namun sebetulnya amat penting. Komunikasi merupakan sarana menyempurnakan sikap. Sikap adalah isi atau penumpang, sedangkan komunikasi menjadi kendaraannya. Komunikasi merupakan ”etalase” yang memungkinkan perhiasan terlihat lebih indah. Tentu akan semakin indah lagi, jika perhiasan tersebut dipasangkan di telinga, leher, pergelangan tangan, dan jari jemari.

Dalam Bagian Ketiga, penulis membahas sikap pembelajar yang perlu dimiliki setiap pekerja. Pada dasarnya, pekerjaan adalah sekolah. Tidak pernah ada kata cukup dalam mengasah keterampilan, pemikiran, ide, dan sejenisnya, sebab hanya dengan cara inilah kita dapat memperoleh semangat, rasa cinta, dan terutama rasa bahagia. Perusahaan ibarat ladang, dan kita petaninya. Seperti halnya petani yang baik, kita juga perlu mengenal ladang kita, bagaimana tingkat kesuburan, cara mengolah, dan alat kerjanya. Memahami perusahaan, baik karakter, visi, misi, perkembangan, serta kualifikasi teknis yang diperlukan akan membantu kita mengembangkan diri.

Kemudian dalam Bagian Keempat, penulis mengetengahkan masalah keseimbangan hidup. Keseimbangan dimaksud mencakup persepsi kita tentang kesuksesan dan kebahagiaan. Apakah kita dapat dikatakan sukses apabila kita sudah menemukan apa yang kita harapkan? Jika demikian halnya, bagaimana jika harapan tersebut ternyata tidak terwujud? Apakah kita tidak patut merasa sukses dan bahagia? Keseimbangan juga berhubungan dengan masalah kesehatan dan kehidupan sosial. Begitu banyak orang mengorbankan kesehatannya untuk mengejar uang dan karier. Akhirnya, yang datang kemudian adalah penyesalan. Sebagai makhluk sosial, manusia juga dituntut untuk berarti dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak sekali bentuk kegiatan yang dapat kita lakukan, yang dilandasi semangat berbagi kepada sesama. Hidup dapat dikatakan seimbang jika proses ”menerima” juga diikuti dengan proses ”memberi”.

Tentu saja, seperti petani dapat berpindah ladang garapan, karyawan juga dapat pindah pekerjaan. Penyebabnya tentu sangat beragam. Mungkin karena ladangnya tidak subur, ada ladang lain yang lebih subur, keadaan di daerah itu tidak bersahabat, perubahan pemikiran atau minat, dan karena sebab lainnya. Itu merupakan realitas dalam dunia kerja yang bersifat umum dan wajar. Namun, alangkah baiknya jika segala sesuatu dipastikan dengan baik, alasannya tepat, dan telah diperhitungkan dengan matang. Masalah inilah yang penulis bahas dalam Bagian Kelima.***

Ketika Mimpi-Mimpi Tak Terwujud



Spesifikasi Buku
Judul : Ketika Mimpi-Mimpi Tak Terwujud
Subjudul : Bagaimana Menghadapi Kenyataan Hidup yang Mengecewakan
Judul Asli : Overcoming Life’s Disappointments
Penulis : Harold S. Kushner
No. ISBN : 978-979-687-461-3
Ukuran : 14,5 x 21 cm
Tebal : x + 183 halaman


Sistematika Buku
Kata Pengantar
1. Manusia yang berani bermimpi
2. Siapa yang Anda layani?
3. Jalan yang sulit, bukan yang mudah
4. Mimpi-mimpi baru sebagai ganti yang lama
5. Berpegang pada janji
6. Semua bukan karena Anda
7. Kesalahan yang dibuat orang-orang baik
8. Bagaimana membuat akhir yang bahagia
Tentang Penulis


Harold S. Kushner adalah seorang maestro. Ia adalah pakar dalam hal ”mengatasi rasa sakit hati”. Setelah bukunya yang terkenal dan menjadi bestseller, When Bad Things Happen to Good People, ia menulis berbagai buku lagi, salah satunya adalah buku ini.

Sama seperti keprihatinan dalam bukunya yang terkenal itu, Kushner juga menyapa dan menasihati orang-orang yang mengalami kekecewaan – entah karena kegagalan atau karena sebagai lain. Kekecewaan, apa pun bentuk dan penyebabnya, memang sangat menyakitkan dan tidak diharapkan.

Ia menggunakan tokoh Alkitab – Musa – sebagai contoh, teladan, guru dan partner belajar mengatasi kekecewaan. Musa rupanya seorang tokoh yang banyak mengalami rasa kecewa sepanjang hidupnya. Dalam kata-kata penulisnya sendiri:



Pelajaran-pelajaran dari buku ini sebagian besar akan diambil dari pengamatan
terhadap hidup salah seorang paling berpengaruh yang pernah ada, yaitu Musa,
pahlawan dalam Alkitab, orang yang membawa perkataan Tuhan turun dari puncak
gunung. Saat membayangkan Musa, kita membayangkan sejumlah keberhasilannya:
memimpin Israel keluar dari perbudakan, membelah Laut Merah, mendaki Gunung
Sinai untuk menerima hukum Allah. Namun, Musa juga sosok yang mengalami
frustrasi dan kegagalan, dalam kehidupan pribadi maupun publik, paling tidak
sesering dan sedalam saat-saat ia mengalami keberhasilan. Kita, yang menjalani
hidup juga sebagai perpaduan keberhasilan dan kegagalan, bisa belajar dari
pengalamannya. Kalau Musa sanggup menghadapi kekecewaannya yang terbesar, kita bisa belajar untuk menghadapi kekecewaan kita.

Buku ini untuk kita semua yang harus menghadapi orang-orang yang tidak menghargai kita, di rumah maupun di tempat kerja, sama seperti Musa yang harus menghadapi orang-orang yang tak tahu berterima kasih selama 40 tahun.

Ya, buku ini memang dimaksudkan bagi mereka yang mendambakan keberhasilan, kesuksesan atau kebahagiaan, namun sebaliknya mereka memperoleh kesedihan, kekecewaan, dan rasa frustasi.

Buku ini terdiri dari delapan (8) bab. Pada bab pertama, Kushner membentangkan gagasan awalnya. Sama seperti Musa, setiap orang selalu mempunyai mimpi-mimpi; mimpi yang ingin diwujudkannya. Musa, seorang pemuda Ibrani, dipanggil oleh Allah untuk membebaskan umat-Nya dari Mesir. Ini jelas suatu mimpi – atau visi/misi – yang bahkan diletakkan oleh Allah sendiri di atas bahu Musa. Namun, mimpi ini tidak seindah yang akan terjadi dalam kenyataannya kelak. Musa ternyata mengalami banyak tantangan dan hambatan: mulai dari umat Israel yang tidak percaya padanya, bersungut-sungut, lemahnya iman, bahkan tantangan dari keluarganya sendiri.

Impian Musa hancur, persis seperti hancurnya dua loh batu yang baru saja dibawanya turun dari Gunung Sinai. Apa yang dilakukan musa? Menyerah? Ngambek dan tidak mau memimpin lagi umat Israel? Ternyata tidak. Musa mengumpulkan kepingan-kepingan loh batu yang sudah hancur itu – juga hatinya yang hancur berkeping-keping – lalu menyimpannya bersama dengan loh batu yang baru di dalam tabut perjanjian.



Impian Musa untuk mengubah bangsa yang sebelumnya adalah para budak menjadi
bangsa yang mengikuti hukum Allah tanpa ragu telah hancur. Tetapi ia tetap
menyimpan kepingan mimpi yang pecah itu, agar ia selalu ingat mimpi yang pernah
dimilikinya dan pelajaran yang didapatnya, saat ia tahu impian tersebut tidak
akan terwujud. Musa menukar mimpinya dengan yang tidak terlalu ambisius dan
lebih realistis. Namun, ia tetap ingin mengingat bahwa ia pernah punya impian
lain yang lebih berpengharapan, impian yang mengisi sebagian besar jiwanya,
sehingga ia tidak bisa dan tidak mau melupakannya. Ia mau mengingat bahwa ia
pernah memimpikan melakukan sesuatu yang hebat, yang ternyata berubah menjadi sesuatu yang berada di luar genggamannya, tetapi ia tidak mau kenangan itu tercetak dalam benaknya sebagai sebuah kegagalan. Kepingan harapan yang pecah
tidak akan menjadi batu berat yang menghalangi langkahnya. Kepingan tersebut
justru akan menjadi batu pijakan, menjadi landasan dari keberhasilan di masa depan.

Musa tidak menyerah. Ia memang merasakan rasa sakit hati dan kekecewaan yang sangat mendalam. Namun, ketimbang membuang mimpi-mimpinya, ia memilih untuk merajut mimpi-mimpinya dengan cara yang baru.

Dari mana Musa mendapatkan kekuatan untuk mengatasi seluruh rasa frustrasi ini dan bisa terus melayani sebagai pemimpin? Pada bab 2, rahasia ini dijelaskan: Musa tahu siapa yang ia layani. Ia melayani Allah sendiri. Ia tidak bekerja untuk mendapatkan balasan terima kasih dari orang-orang Israel. Ia tidak mencari pujian maupun penghargaan (walau ia mungkin tidak akan menolaknya). Ia bekerja untuk Tuhan, mematuhi panggilan Tuhan untuk membawa umat-Nya keluar dari Mesir, mengajari mereka cara hidup yang sesuai kehendak Tuhan, dan membimbing mereka menuju Tanah Perjanjian. Tuhan, bukan umat yang tak tahu berterima kasih itu, yang akan menilai apakah Musa melakukan pekerjaannya dengan baik. Ini yang memberi Musa energi dan tekad untuk melanjutkan misinya

Musa cukup bijaksana untuk mengetahui bahwa manusia akan kerap mengecewakan kita; bahwa manusia itu lemah dan tidak dapat diandalkan; bahwa mereka akan lupa berterima kasih, tetapi kita harus mencintainya. Kita harus melakukan yang benar bukan demi tepuk tangan atau penghargaan, namun karena perbuatan tersebut merupakan hal yang benar untuk dilakukan, dan Anda tidak boleh lupa siapa dan apa yang Anda sebenarnya layani.

Kushner banyak menyebutkan contoh-contoh mengenai orang yang mencoba bangkit dan pulih dari rasa kecewa karena mereka kembali mencamkan apa yang menjadi visi dan misi perjuangan mereka. Hal tersebut mengajarkan bahwa kenyataan sering terasa sulit bagi kita. Bab 3 menjelaskan hal ini, menyadarkan akan kesulitan-kesulitan, penolakan-penolakan, dan kekecewan-kekecewaan yang sering kita alami. Dengan pelbagai contoh, Kushner mencoba menjelaskan hal itu. Namun, contoh-contoh tersebut tetap menggarisbawahi bahwa terlepas dari kesulitan, penolakan, dan kekecewaan tersebut.

Jika Musa berani “merevisi” mimpinya (bukan membuangnya), mengapa kita tidak dapat melakukan hal yang sama? Pada bab 4, Kushner menuturkan bahwa impian yang hancur, hati yang patah, dan harapan yang tidak terwujud seharusnya tidak dipandang sebagai tanda-tanda rasa malu maupun kegagalan. Bahkan sebaliknya, itu semua adalah bukti keberanian. Kita seharusnya cukup berani untuk bermimpi, cukup berani untuk menyimpan harapan untuk waktu lama, dan ketika tidak mendapatkannya, kita cukup berani untuk membawa pecahan dari harapan yang hancur itu bersama kita di masa depan, untuk memberi tahu siapa kita sebagai awal dari penemuan akan diri kita kelak.

Pada bab-bab selanjutnya, Kushner semakin mempertajam penjelasan dalam bab-bab sebelumnya, terutama dengan berbagai contoh. Terutama, Kushner menekankan pentingnya berpegang pada janji, yaitu janji untuk memenuhi visi-misi kita dan janji pada siapa yang kita layani. Dari berbagai contoh, ia memperlihatkan bahwa mimpi yang sudah dijanjikan untuk diwujudkan, tidak dapat begitu saja dihapus atau dibuang, tanpa menghapus atau membuang sebagian dari kita. Kushner berkata:


Pengakuan mereka mengingatkan saya pada adegan dalam film Fiddle on the Roof
ketika Tevye bertanya kepada istri yang dinikahinya selama 25 tahun, ”Apakah
kamu mencintaiku?” Istrinya menjawab bahwa baginya, cinta bukan hanya ekstasi
romantis dan pandangan mata penuh cinta. Cinta berarti bertahan dengan suaminya
yang sering menjengkelkan, karena itu adalah komitmen yang ia buat
bertahun-tahun lalu; karena begitu banyak hal yang mereka bagi bersama dan telah
menjadi bagian dari identitasnya yang tidak bisa begitu saja diamputasi tanpa
rasa sakit.

Selain kesetiaan pada janji, hal lain yang penting dalam memberi kita kekuatan memegang mimpi-mimpi kita adalah kesadaran untuk tetap selalu rendah hati. Kita tidak harus merasa bertanggung jawab atas kegagalan yang terjadi. Perspektif itu mencegahnya untuk merasa terlalu bangga ketika keadaan membaik dan merasa seperti pecundang ketika keadaan memburuk. Mengapa kita begitu sulit untuk menerima gagasan bahwa segala yang terjadi bukan karena kita? Bahwa kita mungkin tidak bertanggung jawab atas semua yang baik dan buruk dalam hidup kita?

Perspektif di atas dilanjutkan pada suatu tesis: bahwa kita kita tidak ditentukan sepenuhnya oleh pekerjaan kita. Memang, kita bertanggung jawab atasnya, namun, orang sering terkecoh karena mengira bahwa ia harus mati-matian mengejar sesuatu yang menurutnya pantas diterima sambil melupakan berkat-berkat yang sudah diterimanya. Kushner berkata:



Lima elemen dari hidup yang lengkap: keluarga, teman-teman, iman, pekerjaan, dan
kepuasan yang didapat ketika kita membuat perbedaan. Sebagian besar kita akan
menyetujui kebutuhan atas semua elemen tersebut. Masalah terbesar kita adalah
menemukan waktu dalam 24 jam sehari untuk menjalani lima aspek tersebut dengan baik. Terlalu sering masalahnya adalah apa yang menjadi prioritas utama dari waktu dan tenaga kita, dan mana yang menjadi nomor sekian di dalam daftar dan terlalu sering terabaikan.

Kita sering lupa dengan prioritas. Mungkin mengharapkan diri kita sendiri atau siapa pun untuk mahir dalam lima dimensi kehidupan yang lengkap adalah hal yang berlebihan. Tetapi, seperti kerap dikatakan seorang teman saya, ”Anda bisa memiliki semuanya, tetapi tidak dalam waktu bersamaan.” Mungkin kita bisa menyesuaikan prioritas kita sementara keadaan hidup kita berubah, dengan menekankan pada hal yang penting dalam satu sisi hidup kita dan menunda penekanan pada aspek hidup lainnya untuk waktu kemudian.***

Transparansi: Bagaimana Pemimpin Menciptakan Budaya Keterbukaan



Spesifikasi Buku
Judul : Transparansi
Subjudul : Bagaimana Pemimpin Menciptakan Budaya Keterbukaan
Judul Asli : Transparency
Subjudul Asli : How Leaders Create a Culture of Candor
Penulis : Warren Bennis, Daniel Goleman, James O’Toole bersama Patricia Ward Biederman
No. ISBN : 978-979-687-…-…
No. Kode Buku :
Ukuran : 14,5 x 21 cm
Tebal : x + 154 halaman


Sistematika Buku
Pendahuluan (Warren Bennis)
1. Menciptakan Budaya Keterbukaan (Warren Bennis, Daniel Goleman, dan Patricia Ward Biederman)
2. Mengungkapkan Kebenaran kepada Orang yang Berkuasa (James O’Toole)
3. Transparansi Baru (Warren Bennis)
Catatan
Para Penulis


Berbagai isu tertentu mengemuka di seluruh institusi dan mulai memasuki hampir semua perbincangan kita tentang organisasi, bisnis, kehidupan masyarakat, dan realita pribadi. Transparansi merupakan salah satu isu yang paling penting dan semakin mengemuka. Transparansi merupakan isu sentral, entah dalam hal bisnis global, otoritas korporat, politik nasional dan internasional, atau cara media menghadapi gelombang pasang-surut informasi yang ’menghantam’ kita setiap hari.

Sebagai kata yang umum dan menarik, ”transparansi” mencakup keterbukaan, integritas, kejujuran, etika, kejelasan, pengungkapan sepenuhnya, kesepakatan hukum, dan banyak hal lain yang memampukan kita untuk saling bertindak adil. Di dalam dunia jejaring, yaitu tempat persaingan mengglobal dan reputasi bisa hancur hanya dengan mengklik mouse komputer, transparansi sering menjadi masalah bertahan hidup. Sebagai pemegang saham di berbagai organisasi, kita semakin mendambakan transparansi. Namun, apa yang sebenarnya kita minta? Apa janji dari transparansi? Apa risikonya yang sangat nyata? Bagaimana seharusnya pemimpin dan organisasi memandang transparansi, dan mengapa itu penting untuk dipahami oleh para pemimpin? Buku ini mencoba menelusuri apa sebenarnya transparansi itu, sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang di antara mereka:


[Dalam buku ini, saya bergabung dengan rekan-rekan penulis dan pelajar veteran
dari kehidupan berorganisasi] untuk menggali apa arti menjadi pemimpin yang
transparan, menciptakan organisasi yang transparan, dan hidup di budaya dunia
yang lebih transparan lagi.

Ketiga esai di dalam buku ini mengamati transparansi dari tiga sudut pandang yang berbeda—di dalam dan di antara organisasi, dalam hal tanggung jawab pribadi, dan akhirnya dalam konteks realita digital baru—dengan penekanan pada bagaimana semua hal itu terhubung dengan para pemimpin dan kepemimpinan.

Buku ini terdiri dari 3 bab dan 1 pendahuluan. Bagian Pendahuluan – yang ditulis oleh Warren Bennis – membentangkan semua alasan dan garis besar apa yang dilakukan oleh para penulis dalam buku ini.

Dalam Bab 1, Dan Goleman, Pat Ward Biederman, dan Warren Bennis, menggali dilema yang mendesak setiap pemimpin masa kini: cara menciptakan budaya keterbukaan. Mereka berpendapat bahwa aliran informasi yang tidak terhalang sangat penting bagi kesehatan organisasi.

Goleman, salah satu penulis Bab 1, yang sangat terkenal dengan karyanya ten-tang kecerdasan emosional, telah melakukan riset selama bertahun-tahun tentang cara aliran informasi membentuk organisasi. Ia telah lama memiliki minat terhadap sikap “penipuan diri sendiri” dan bagaimana hal itu bisa mengganggu pengambilan keputusan. Ia terpesona pada peran kebohongan vital yang dimainkan untuk mencegah merebaknya informasi penting. Pertama di tengah-tengah keluarga. Kedua di dunia bisnis serta organisasi lainnya.

Keterbukaan merupakan sesuatu yang penting bagi kesehatan pribadi dan organisasi. Organisasi membutuhkan keterbukaan sebagaimana jantung membutuhkan oksigen. Ironisnya, semakin besar perusahaan dan para pemimpin politik memperjuangkan transparansi, semakin besar pula kegagalan yang mereka tanggung. Sayangnya, alasan bagaimana itu bisa terjadi bukanlah karena kemenangan kebaikan atas kejahatan, melainkan karena kekuatan pengalihan kenyataan dari teknologi baru. Suka atau tidak, berkat YouTube, tak ada tempat lagi untuk bersembunyi.

Bab 2 yang ditulis oleh Jim O’Toole bersifat provokatif: ”Mengungkapkan Kebenaran kepada Orang yang Berkuasa”—suatu syarat transparansi dan tanggung jawab yang acap gagal kita penuhi. Jim—penulis, konsultan, dosen bisnis dan etika, peminat bidang filosofi, memiliki gelar di bidang antropologi sosial—membawa kerangka acuan yang luas untuk membahas topik penting itu. Selain mencantumkan Sophocles, Shakespeare, sosiobiologi, dan Jenderal Shinseki, Jim menyertakan pula analisis keyakinan Aristoteles yang provokatif bahwa nilai mengharuskan manusia marah pada berbagai hal yang membenarkan kemarahan. Jim juga menggambarkan pertemuannya yang tidak terlupakan dengan Donald Rumsfeld di suatu seminar Aspen Institute.

Mungkin yang menarik adalah Bab 3 atau bab terakhir buku ini. Di situ, Warren Bennis menggali sesuatu yang saya sebut dengan ”transparansi baru”. Apa yang dimaksudkan adalah bagaimana teknologi digital menjadikan seluruh dunia transparan. Karena teknologi, para pemimpin kehilangan monopoli atas kekuasaan. Hal itu berdampak positif—terutama terhadap demokratisasi kekuasaan—sekaligus berdampak negatif. Semuanya terutama dapat dila­kukan berkat adanya internet dengan segala feature-nya, seperti blog dan email. Namun, di dalam dunia internet pula orang bisa menjadi tidak transparan karena mereka dapat menyembunyikan identitas mereka hanya untuk “berbuat kasar” pada pihak lain.***