Rabu, Maret 11, 2009

Transparansi: Bagaimana Pemimpin Menciptakan Budaya Keterbukaan



Spesifikasi Buku
Judul : Transparansi
Subjudul : Bagaimana Pemimpin Menciptakan Budaya Keterbukaan
Judul Asli : Transparency
Subjudul Asli : How Leaders Create a Culture of Candor
Penulis : Warren Bennis, Daniel Goleman, James O’Toole bersama Patricia Ward Biederman
No. ISBN : 978-979-687-…-…
No. Kode Buku :
Ukuran : 14,5 x 21 cm
Tebal : x + 154 halaman


Sistematika Buku
Pendahuluan (Warren Bennis)
1. Menciptakan Budaya Keterbukaan (Warren Bennis, Daniel Goleman, dan Patricia Ward Biederman)
2. Mengungkapkan Kebenaran kepada Orang yang Berkuasa (James O’Toole)
3. Transparansi Baru (Warren Bennis)
Catatan
Para Penulis


Berbagai isu tertentu mengemuka di seluruh institusi dan mulai memasuki hampir semua perbincangan kita tentang organisasi, bisnis, kehidupan masyarakat, dan realita pribadi. Transparansi merupakan salah satu isu yang paling penting dan semakin mengemuka. Transparansi merupakan isu sentral, entah dalam hal bisnis global, otoritas korporat, politik nasional dan internasional, atau cara media menghadapi gelombang pasang-surut informasi yang ’menghantam’ kita setiap hari.

Sebagai kata yang umum dan menarik, ”transparansi” mencakup keterbukaan, integritas, kejujuran, etika, kejelasan, pengungkapan sepenuhnya, kesepakatan hukum, dan banyak hal lain yang memampukan kita untuk saling bertindak adil. Di dalam dunia jejaring, yaitu tempat persaingan mengglobal dan reputasi bisa hancur hanya dengan mengklik mouse komputer, transparansi sering menjadi masalah bertahan hidup. Sebagai pemegang saham di berbagai organisasi, kita semakin mendambakan transparansi. Namun, apa yang sebenarnya kita minta? Apa janji dari transparansi? Apa risikonya yang sangat nyata? Bagaimana seharusnya pemimpin dan organisasi memandang transparansi, dan mengapa itu penting untuk dipahami oleh para pemimpin? Buku ini mencoba menelusuri apa sebenarnya transparansi itu, sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang di antara mereka:


[Dalam buku ini, saya bergabung dengan rekan-rekan penulis dan pelajar veteran
dari kehidupan berorganisasi] untuk menggali apa arti menjadi pemimpin yang
transparan, menciptakan organisasi yang transparan, dan hidup di budaya dunia
yang lebih transparan lagi.

Ketiga esai di dalam buku ini mengamati transparansi dari tiga sudut pandang yang berbeda—di dalam dan di antara organisasi, dalam hal tanggung jawab pribadi, dan akhirnya dalam konteks realita digital baru—dengan penekanan pada bagaimana semua hal itu terhubung dengan para pemimpin dan kepemimpinan.

Buku ini terdiri dari 3 bab dan 1 pendahuluan. Bagian Pendahuluan – yang ditulis oleh Warren Bennis – membentangkan semua alasan dan garis besar apa yang dilakukan oleh para penulis dalam buku ini.

Dalam Bab 1, Dan Goleman, Pat Ward Biederman, dan Warren Bennis, menggali dilema yang mendesak setiap pemimpin masa kini: cara menciptakan budaya keterbukaan. Mereka berpendapat bahwa aliran informasi yang tidak terhalang sangat penting bagi kesehatan organisasi.

Goleman, salah satu penulis Bab 1, yang sangat terkenal dengan karyanya ten-tang kecerdasan emosional, telah melakukan riset selama bertahun-tahun tentang cara aliran informasi membentuk organisasi. Ia telah lama memiliki minat terhadap sikap “penipuan diri sendiri” dan bagaimana hal itu bisa mengganggu pengambilan keputusan. Ia terpesona pada peran kebohongan vital yang dimainkan untuk mencegah merebaknya informasi penting. Pertama di tengah-tengah keluarga. Kedua di dunia bisnis serta organisasi lainnya.

Keterbukaan merupakan sesuatu yang penting bagi kesehatan pribadi dan organisasi. Organisasi membutuhkan keterbukaan sebagaimana jantung membutuhkan oksigen. Ironisnya, semakin besar perusahaan dan para pemimpin politik memperjuangkan transparansi, semakin besar pula kegagalan yang mereka tanggung. Sayangnya, alasan bagaimana itu bisa terjadi bukanlah karena kemenangan kebaikan atas kejahatan, melainkan karena kekuatan pengalihan kenyataan dari teknologi baru. Suka atau tidak, berkat YouTube, tak ada tempat lagi untuk bersembunyi.

Bab 2 yang ditulis oleh Jim O’Toole bersifat provokatif: ”Mengungkapkan Kebenaran kepada Orang yang Berkuasa”—suatu syarat transparansi dan tanggung jawab yang acap gagal kita penuhi. Jim—penulis, konsultan, dosen bisnis dan etika, peminat bidang filosofi, memiliki gelar di bidang antropologi sosial—membawa kerangka acuan yang luas untuk membahas topik penting itu. Selain mencantumkan Sophocles, Shakespeare, sosiobiologi, dan Jenderal Shinseki, Jim menyertakan pula analisis keyakinan Aristoteles yang provokatif bahwa nilai mengharuskan manusia marah pada berbagai hal yang membenarkan kemarahan. Jim juga menggambarkan pertemuannya yang tidak terlupakan dengan Donald Rumsfeld di suatu seminar Aspen Institute.

Mungkin yang menarik adalah Bab 3 atau bab terakhir buku ini. Di situ, Warren Bennis menggali sesuatu yang saya sebut dengan ”transparansi baru”. Apa yang dimaksudkan adalah bagaimana teknologi digital menjadikan seluruh dunia transparan. Karena teknologi, para pemimpin kehilangan monopoli atas kekuasaan. Hal itu berdampak positif—terutama terhadap demokratisasi kekuasaan—sekaligus berdampak negatif. Semuanya terutama dapat dila­kukan berkat adanya internet dengan segala feature-nya, seperti blog dan email. Namun, di dalam dunia internet pula orang bisa menjadi tidak transparan karena mereka dapat menyembunyikan identitas mereka hanya untuk “berbuat kasar” pada pihak lain.***

Tidak ada komentar: