Rabu, Maret 11, 2009

Ketika Mimpi-Mimpi Tak Terwujud



Spesifikasi Buku
Judul : Ketika Mimpi-Mimpi Tak Terwujud
Subjudul : Bagaimana Menghadapi Kenyataan Hidup yang Mengecewakan
Judul Asli : Overcoming Life’s Disappointments
Penulis : Harold S. Kushner
No. ISBN : 978-979-687-461-3
Ukuran : 14,5 x 21 cm
Tebal : x + 183 halaman


Sistematika Buku
Kata Pengantar
1. Manusia yang berani bermimpi
2. Siapa yang Anda layani?
3. Jalan yang sulit, bukan yang mudah
4. Mimpi-mimpi baru sebagai ganti yang lama
5. Berpegang pada janji
6. Semua bukan karena Anda
7. Kesalahan yang dibuat orang-orang baik
8. Bagaimana membuat akhir yang bahagia
Tentang Penulis


Harold S. Kushner adalah seorang maestro. Ia adalah pakar dalam hal ”mengatasi rasa sakit hati”. Setelah bukunya yang terkenal dan menjadi bestseller, When Bad Things Happen to Good People, ia menulis berbagai buku lagi, salah satunya adalah buku ini.

Sama seperti keprihatinan dalam bukunya yang terkenal itu, Kushner juga menyapa dan menasihati orang-orang yang mengalami kekecewaan – entah karena kegagalan atau karena sebagai lain. Kekecewaan, apa pun bentuk dan penyebabnya, memang sangat menyakitkan dan tidak diharapkan.

Ia menggunakan tokoh Alkitab – Musa – sebagai contoh, teladan, guru dan partner belajar mengatasi kekecewaan. Musa rupanya seorang tokoh yang banyak mengalami rasa kecewa sepanjang hidupnya. Dalam kata-kata penulisnya sendiri:



Pelajaran-pelajaran dari buku ini sebagian besar akan diambil dari pengamatan
terhadap hidup salah seorang paling berpengaruh yang pernah ada, yaitu Musa,
pahlawan dalam Alkitab, orang yang membawa perkataan Tuhan turun dari puncak
gunung. Saat membayangkan Musa, kita membayangkan sejumlah keberhasilannya:
memimpin Israel keluar dari perbudakan, membelah Laut Merah, mendaki Gunung
Sinai untuk menerima hukum Allah. Namun, Musa juga sosok yang mengalami
frustrasi dan kegagalan, dalam kehidupan pribadi maupun publik, paling tidak
sesering dan sedalam saat-saat ia mengalami keberhasilan. Kita, yang menjalani
hidup juga sebagai perpaduan keberhasilan dan kegagalan, bisa belajar dari
pengalamannya. Kalau Musa sanggup menghadapi kekecewaannya yang terbesar, kita bisa belajar untuk menghadapi kekecewaan kita.

Buku ini untuk kita semua yang harus menghadapi orang-orang yang tidak menghargai kita, di rumah maupun di tempat kerja, sama seperti Musa yang harus menghadapi orang-orang yang tak tahu berterima kasih selama 40 tahun.

Ya, buku ini memang dimaksudkan bagi mereka yang mendambakan keberhasilan, kesuksesan atau kebahagiaan, namun sebaliknya mereka memperoleh kesedihan, kekecewaan, dan rasa frustasi.

Buku ini terdiri dari delapan (8) bab. Pada bab pertama, Kushner membentangkan gagasan awalnya. Sama seperti Musa, setiap orang selalu mempunyai mimpi-mimpi; mimpi yang ingin diwujudkannya. Musa, seorang pemuda Ibrani, dipanggil oleh Allah untuk membebaskan umat-Nya dari Mesir. Ini jelas suatu mimpi – atau visi/misi – yang bahkan diletakkan oleh Allah sendiri di atas bahu Musa. Namun, mimpi ini tidak seindah yang akan terjadi dalam kenyataannya kelak. Musa ternyata mengalami banyak tantangan dan hambatan: mulai dari umat Israel yang tidak percaya padanya, bersungut-sungut, lemahnya iman, bahkan tantangan dari keluarganya sendiri.

Impian Musa hancur, persis seperti hancurnya dua loh batu yang baru saja dibawanya turun dari Gunung Sinai. Apa yang dilakukan musa? Menyerah? Ngambek dan tidak mau memimpin lagi umat Israel? Ternyata tidak. Musa mengumpulkan kepingan-kepingan loh batu yang sudah hancur itu – juga hatinya yang hancur berkeping-keping – lalu menyimpannya bersama dengan loh batu yang baru di dalam tabut perjanjian.



Impian Musa untuk mengubah bangsa yang sebelumnya adalah para budak menjadi
bangsa yang mengikuti hukum Allah tanpa ragu telah hancur. Tetapi ia tetap
menyimpan kepingan mimpi yang pecah itu, agar ia selalu ingat mimpi yang pernah
dimilikinya dan pelajaran yang didapatnya, saat ia tahu impian tersebut tidak
akan terwujud. Musa menukar mimpinya dengan yang tidak terlalu ambisius dan
lebih realistis. Namun, ia tetap ingin mengingat bahwa ia pernah punya impian
lain yang lebih berpengharapan, impian yang mengisi sebagian besar jiwanya,
sehingga ia tidak bisa dan tidak mau melupakannya. Ia mau mengingat bahwa ia
pernah memimpikan melakukan sesuatu yang hebat, yang ternyata berubah menjadi sesuatu yang berada di luar genggamannya, tetapi ia tidak mau kenangan itu tercetak dalam benaknya sebagai sebuah kegagalan. Kepingan harapan yang pecah
tidak akan menjadi batu berat yang menghalangi langkahnya. Kepingan tersebut
justru akan menjadi batu pijakan, menjadi landasan dari keberhasilan di masa depan.

Musa tidak menyerah. Ia memang merasakan rasa sakit hati dan kekecewaan yang sangat mendalam. Namun, ketimbang membuang mimpi-mimpinya, ia memilih untuk merajut mimpi-mimpinya dengan cara yang baru.

Dari mana Musa mendapatkan kekuatan untuk mengatasi seluruh rasa frustrasi ini dan bisa terus melayani sebagai pemimpin? Pada bab 2, rahasia ini dijelaskan: Musa tahu siapa yang ia layani. Ia melayani Allah sendiri. Ia tidak bekerja untuk mendapatkan balasan terima kasih dari orang-orang Israel. Ia tidak mencari pujian maupun penghargaan (walau ia mungkin tidak akan menolaknya). Ia bekerja untuk Tuhan, mematuhi panggilan Tuhan untuk membawa umat-Nya keluar dari Mesir, mengajari mereka cara hidup yang sesuai kehendak Tuhan, dan membimbing mereka menuju Tanah Perjanjian. Tuhan, bukan umat yang tak tahu berterima kasih itu, yang akan menilai apakah Musa melakukan pekerjaannya dengan baik. Ini yang memberi Musa energi dan tekad untuk melanjutkan misinya

Musa cukup bijaksana untuk mengetahui bahwa manusia akan kerap mengecewakan kita; bahwa manusia itu lemah dan tidak dapat diandalkan; bahwa mereka akan lupa berterima kasih, tetapi kita harus mencintainya. Kita harus melakukan yang benar bukan demi tepuk tangan atau penghargaan, namun karena perbuatan tersebut merupakan hal yang benar untuk dilakukan, dan Anda tidak boleh lupa siapa dan apa yang Anda sebenarnya layani.

Kushner banyak menyebutkan contoh-contoh mengenai orang yang mencoba bangkit dan pulih dari rasa kecewa karena mereka kembali mencamkan apa yang menjadi visi dan misi perjuangan mereka. Hal tersebut mengajarkan bahwa kenyataan sering terasa sulit bagi kita. Bab 3 menjelaskan hal ini, menyadarkan akan kesulitan-kesulitan, penolakan-penolakan, dan kekecewan-kekecewaan yang sering kita alami. Dengan pelbagai contoh, Kushner mencoba menjelaskan hal itu. Namun, contoh-contoh tersebut tetap menggarisbawahi bahwa terlepas dari kesulitan, penolakan, dan kekecewaan tersebut.

Jika Musa berani “merevisi” mimpinya (bukan membuangnya), mengapa kita tidak dapat melakukan hal yang sama? Pada bab 4, Kushner menuturkan bahwa impian yang hancur, hati yang patah, dan harapan yang tidak terwujud seharusnya tidak dipandang sebagai tanda-tanda rasa malu maupun kegagalan. Bahkan sebaliknya, itu semua adalah bukti keberanian. Kita seharusnya cukup berani untuk bermimpi, cukup berani untuk menyimpan harapan untuk waktu lama, dan ketika tidak mendapatkannya, kita cukup berani untuk membawa pecahan dari harapan yang hancur itu bersama kita di masa depan, untuk memberi tahu siapa kita sebagai awal dari penemuan akan diri kita kelak.

Pada bab-bab selanjutnya, Kushner semakin mempertajam penjelasan dalam bab-bab sebelumnya, terutama dengan berbagai contoh. Terutama, Kushner menekankan pentingnya berpegang pada janji, yaitu janji untuk memenuhi visi-misi kita dan janji pada siapa yang kita layani. Dari berbagai contoh, ia memperlihatkan bahwa mimpi yang sudah dijanjikan untuk diwujudkan, tidak dapat begitu saja dihapus atau dibuang, tanpa menghapus atau membuang sebagian dari kita. Kushner berkata:


Pengakuan mereka mengingatkan saya pada adegan dalam film Fiddle on the Roof
ketika Tevye bertanya kepada istri yang dinikahinya selama 25 tahun, ”Apakah
kamu mencintaiku?” Istrinya menjawab bahwa baginya, cinta bukan hanya ekstasi
romantis dan pandangan mata penuh cinta. Cinta berarti bertahan dengan suaminya
yang sering menjengkelkan, karena itu adalah komitmen yang ia buat
bertahun-tahun lalu; karena begitu banyak hal yang mereka bagi bersama dan telah
menjadi bagian dari identitasnya yang tidak bisa begitu saja diamputasi tanpa
rasa sakit.

Selain kesetiaan pada janji, hal lain yang penting dalam memberi kita kekuatan memegang mimpi-mimpi kita adalah kesadaran untuk tetap selalu rendah hati. Kita tidak harus merasa bertanggung jawab atas kegagalan yang terjadi. Perspektif itu mencegahnya untuk merasa terlalu bangga ketika keadaan membaik dan merasa seperti pecundang ketika keadaan memburuk. Mengapa kita begitu sulit untuk menerima gagasan bahwa segala yang terjadi bukan karena kita? Bahwa kita mungkin tidak bertanggung jawab atas semua yang baik dan buruk dalam hidup kita?

Perspektif di atas dilanjutkan pada suatu tesis: bahwa kita kita tidak ditentukan sepenuhnya oleh pekerjaan kita. Memang, kita bertanggung jawab atasnya, namun, orang sering terkecoh karena mengira bahwa ia harus mati-matian mengejar sesuatu yang menurutnya pantas diterima sambil melupakan berkat-berkat yang sudah diterimanya. Kushner berkata:



Lima elemen dari hidup yang lengkap: keluarga, teman-teman, iman, pekerjaan, dan
kepuasan yang didapat ketika kita membuat perbedaan. Sebagian besar kita akan
menyetujui kebutuhan atas semua elemen tersebut. Masalah terbesar kita adalah
menemukan waktu dalam 24 jam sehari untuk menjalani lima aspek tersebut dengan baik. Terlalu sering masalahnya adalah apa yang menjadi prioritas utama dari waktu dan tenaga kita, dan mana yang menjadi nomor sekian di dalam daftar dan terlalu sering terabaikan.

Kita sering lupa dengan prioritas. Mungkin mengharapkan diri kita sendiri atau siapa pun untuk mahir dalam lima dimensi kehidupan yang lengkap adalah hal yang berlebihan. Tetapi, seperti kerap dikatakan seorang teman saya, ”Anda bisa memiliki semuanya, tetapi tidak dalam waktu bersamaan.” Mungkin kita bisa menyesuaikan prioritas kita sementara keadaan hidup kita berubah, dengan menekankan pada hal yang penting dalam satu sisi hidup kita dan menunda penekanan pada aspek hidup lainnya untuk waktu kemudian.***

1 komentar:

Arrosyid Zobo mengatakan...

menyadarkanku bahwa kegagalan bukanlah akhir dari kehidupan. ada e-booknya ga...???